Apa Itu Ijma ?

 Islam adalah agama yang terbangun di atas dasar ilmu. Ia mendidik pemeluknya untuk tidak berkeyakinan maupun beramal dalam urusan agama, melainkan dengan ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan, memiliki pondasi dan dasar yang sah, dan dapat dipastikan melalui jalur wahyu. Argumen dan alasan beragama tersebut dikenal sebagai dalil.

Dalil dalam islam dasarnya adalah wahyu Alquran dan Sunnah Rasulullah (sabda, perbuatan, dan pengakuannya) yang telah dikukuhkan oleh Alquran sebagai dasar agama yang sepadan dan seiring dengannya, dan sama sekali tak bertentangan. Di bawah itu terdapat dalil-dalil lain yang diakui oleh Alquran dan Sunnah. Sebagian besarnya diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, namun ada yang disepakati, yaitu ijma’.

Apa Itu Ijma’?

Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.

Syarat Ijma’

Berdasarkan definisi di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa disahkan dan berlaku:

  1. Terjadinya kesepakatan
  2. Kesepakatan seluruh ulama islam
  3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah, meskipun hanya sebentar saja kesepakatan terjadi
  4. Yang disepakati adalah perkara agama

Bila seluruh perkara di atas terpenuhi maka ia menjadi ijma’ yang tak boleh diselisihi setelahnya, dan menjadi landasan hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia menyimpang, meskipun berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.

Keabsahan Ijma’

Dalil Alquran

1. Allah Ta’ala berfirman:

وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian” (QS. Al-Baqoroh: 143)

Saksi di atas bersifat umum mencakup kesaksian akan apa yang diperbuat manusia, dan kesaksian akan hukum perbuatan mereka. Di akhirat kelak umat islam bersaksi bahwa manusia telah melakukan perbuatan begini dan begitu, dan juga bersaksi bahwa perbuatan tersebut salah ataupun benar. Sedangkan saksi ucapannya mesti diterima.

2. Allah Ta’ala juga berfirman:

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kesesatan ada di luar ajaran Rasul dan jalan orang-orang beriman. Maka jika ajaran Rasul (wahyu) atau kesepakatan kaum mukmin diikuti mestilah akan terhindar dari kesesatan.

3. Allah Ta’ala juga berfirman:

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Ayat di atas memerintahkan agar mengembalikan segala yang diperselisihkan kepada Alquran dan Assunnah. Jika tidak ada perselisihan maka tentu tak ada kelaziman untuk harus mencari-cari dalil teksnya.

Dalil Assunnah

1. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا تجتمع أمتي على ضلالة

Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya hasan menurut Syeikh Albani)

2. Dan juga sabdanya:

فمن رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وأمرهم جميع، فاقتلوه كائنا من كان، فإن يد الله مع الجماعة

Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syeikh Albani)

Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh ijma’ dalam islam.

Dalil Logika

Secara logika dapatlah dikatakan bahwa ijma’ umat islam bisa saja salah dan bisa saja benar. Jika benar maka tak pelak ia merupakan dalil. Namun jika salah, maka bagaimana mungkin mereka semua salah sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya jika umat islam telah sepakat, maka kebenaran pasti terdapat padanya.

Haruskan Ijma’ Beriringan Dengan Dalil Lain?

Tidak ada perkara yang disepakati hukumnya dalam islam melainkan perkara tersebut mesti terdapat dalil wahyu yang menyebutkannya secara tersirat maupun tersurat. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan kuat dari segi argumen. Sebab, hak menentukan hukum adalah hak prerogatif (khusus) bagi Allah dan rasul-Nya.

Hanya saja, Allah memberi sebuah jaminan bahwa apa yang disepakati oleh umat Rasulullah tidak akan melenceng dari jalur wahyu-Nya. Itulah mengapa terkadang ketika seorang ulama sedang berijtihad, ia mempertanyakan keabsahan sebuah ijma’ yang dinukilkan kepadanya dengan dalih bahwa ini berbenturan dengan Alquran ataupun Sunnah.

Oleh karena itu perlu untuk dimaklumi bahwa tidak ada ijma’ yang bertentangan dengan dalil Alquran ataupun Sunnah. Jika sekiranya didapatkan, maka kemungkinannya adalah dalil tersebut tidak sahih, atau dalil tersebut salah difahami, atau dalil tersebut telah dihapus hukumnya, atau justru ijma’ tersebut sebenarnya cacat karena ada perselisihan yang tak kita ketahui atau nukilannya tidak sahih.

Mengapa Mesti Memakai Ijma’?

Jika ijma’ mesti berbaringan dengan dalil lantas mengapa harus ada ijma’? Jawabannya adalah:

  1. Karena terkadang ada permasalahan yang dalilnya tersembunyi atau tak dinukilkan kepada kita karena sebab tertentu, maka sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap syariatnya Dia mencukupkan bagi hamba-Nya untuk berbuat hanya dengan berasaskan ijma’.
  2. Terkadang dalam sebuah permasalahan yang sudah terdapat dalil padanya masih terdapat perselisihan, bisa karena perbedaan pemahaman terhadap dalil tersebut atau karena faktor lainnya, maka ijma’ berfungsi untuk menutup perselisihan tersebut dan memastikan satunya pemahaman.

Macam-Macam Ijma’

Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:

  1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar, dan tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat lima waktu dan haramnya minuman keras.   

  1. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama. Karena diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.

Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:

  1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma’, begitu juga jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum lalu para ulama lainnya berpendapat sama. Inilah dia asalnya ijma’, dan ketika disebut kata ijma’ secara mutlak maka yang terbetik dalam benak adalah ijma’ sharih.

  1. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan ataupun perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari, maka apakah itu ijma’? Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak mengingkari, maka bisa dikatakan ijma’. Namun, berdasarkan pandangan bahwa diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti segan atau memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak dapat disebut ijma’.

    Dalam masalah ini bisa kita golongkan sebagai ijma’, berdasarkan pendapat yang kita pilih, dengan syarat perkara tersebut masyhur dan diketahui oleh seluruh ulama mujtahid pada zaman itu. Namun, ijma’ ini lemah derajatnya, terlebih bilamana terdapat indikasi yang menunjukkan sebaliknya, maka saat itu tidak dapat dianggap. Selain itu sangatlah sulit mengklaim ijma’ macam ini karena syarat masyhur tersebut.

Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:

  1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang dimaksud dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.

  1. Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan dengan jenis yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka telah mufakat untuk tidak berselisih kecuali menjadi dua atau tiga pendapat tersebut, maka tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang bertentangan atau menafikan pendapat yang telah ada.

    Sebagai contoh, para ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian berpendapat harus berniat ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan mandi junub, sebagian lagi berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika dikatakan tidak harus maka inilah yang disebut membuat pendapat baru bertentangan yang sudah ada, yaitu yang mengharuskan niat tersebut pada ketiganya sekaligus.

    Adapun yang diperbolehkan seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah di antara pendapat-pendapat yang berselisih, atau membuat pendapat yang merinci, bila kondisi begini maka pendapat ini berlaku, bila kondisi begitu maka pendapat itu berlaku.

Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:

  1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid mengeluarkan kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari mendata ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.

  1. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan tak perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu orang.

Bagaimana Mengetahui Ijma’ Pada Suatu Permasalahan?

Ijma’ dapat diketahui dengan menyaksikan sendiri terjadinya ijma’ bilamana ijma’ tersebut terjadi pada zamannya. Adapun bila ijma’ tersebut telah berlalu masanya, maka dapat diketahui dengan dua cara:

  1. Mencari teks nukilan dari para ulama yang menyatakan bahwa ijma’ terdapat dalam masalah ini dan ini, atau yang semacam itu. Dan itu bisa didapat dalam buku-buku berikut:

  • Menelaah buku-buku yang menghimpun masalah ijma’ ataupun masalah khilaf (perselisihan). Seperti Al-Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir, atau Marotibul Ijma’ karya Imam Ibnu Hazm,

  • Menelaah buku-buku fikih yang menghimpun pendapat-pendapat lintas mazhab. Biasa akan disebutkan dalam permasalahan ini para ulama bersepakat bahwa hukumnya begini, atau para ulama berselisih menjadi sekian pendapat.

  1. Melakukan penelitian dan pencarian sendiri guna menyimpulkan bahwa suatu masalah terdapat ijma’ ataukah perselisihan. Hal ini tentunya membutuhkan keahlian, kelengkapan referensi, dan waktu yang tak sedikit. Dan tak bisa dilakukan segenap orang.

Masalah Ijma’ Parsial

Yaitu ijma’ yang terjadi dalam lingkup sempit, tidak mencakup seluruh umat. Apakah dapat disahkan dan dianggap sebagai dalil ijma’? Dalam masalah ini terdapat empat macam:

  1. Ijma’ Khulafaurrasyidin

  2. Ijma’ Abu Bakar dan Umar Bin Khattab

  3. Ijma’ Penduduk Madinah

  4. Ijma’ Ahlul Bait

Ijma’-ijma’ di atas adalah yang kerap kali dipergunakan oleh mazhab-mazhab tertentu dalam argumentasinya. Namun secara ringkas, kembali kepada apa yang telah disebutkan, selama bukan merupakan kesepakatan seluruh mujtahid maka tak dapat dianggap sebagai dalil ijma’. Kecuali Abu Bakar dan Umar, begitu juga khulafaurrasyidin. Karena terdapat dalil lainnya yang cukup kuat berupa sabda-sabda Nabi yang melegitimasi dan membenarkan berhukum dengan pendapat mereka, hanya saja ini tidak masuk dalam bab ijma’ yang tak bisa diselisihi, namun merupakan bab berargumen dengan pendapat sahabat, maka mereka dapat dijadikan dalil selama tak berbenturan dengan dalil yang lebih kuat semacam Alquran ataupun Sunnah.

Wallahu a’lam bisshawab


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tauhid Rubbubiyah

ADAB TERHADAP TETANGGA

Fiqih Qurban